Jumat, 21 Januari 2011

Seni Rupa Masa Perintis

 Masa Perintis dimulai dari prestasi Raden Saleh Syarif Bustaman (1807 – 1880), seorang seniman Indonesia yang belajar kesenian di eropa dan sekembalinya di Indonesia ia menyebarkan hasil pendidikannya. Kemudian Raden Saleh dikukuhkan sebagai bapak perintis seni lukisan modern.

Raden Saleh Syarief Bustaman dilahirkan tahun 1807 di Terbaya dekat Semarang, meninggal di Bogor tanggal 23 April 1880. Ia mendapat didikan dasar menggambar dan melukis dari seorang pelukis Belgia, A.A.J. Payen antara tahun 1817 dan 1820. Sebenarnya Raden Saleh dipersiapkan oleh pemerintahHindia-Belandamenjadi calon pegawai pada Badan Penyelidikan Ilmu Pengetahuan dan Kesenian yang dikepalai oleh Prof. C.G.C. Reinwardt, di Bogor. Pada tahun 1829 Raden saleh mengiringi Inspektur Kesenian Belanda de Linge dalam perjalanannya ke Belanda.


Di Belanda, atas anjuran Payen, Raden saleh diperbolehkan belajar melukis pada pelukis-pelukis Belanda, seperti; Cornelius Krusemen dan Andreas Schelfhout. Ditahun 1839 ia meninggalkan Belanda dan pergi ke Jerman kekota Berlin, Dresden dan Coburg. Disini Raden saleh melukis potret-potret kuda dari orang-orang yang berkuasa, di tahun 1845 ia mengunjungi bekas gurunya, Payen di Doornik, Belanda dan dari situ ia menuju Paris dan berkenalan dengan pelukis Prancis kenamaan Horace Vernet. Bersama Vernet ia pernah mengunjungi Aljazair. –



Di Eropa Raden Saleh terkenal sebagai pelukis kehidupan hewan, pada tahun 1851 ia kembali ke Indonesia dan banyak melukis orang-orang berpangkat dan kaya. Di Jakarta ia membangun rumah mewah di pinggir kali Ciliwung, yang kini menjadi Rumah Sakit Cikini.”Sebagian tanah miliknya pernah menjadi kebon binatang, yang”kini menjadi Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki.



Raden Saleh beristrikan V. Winkelman, seorang wanita Belanda Indo yang kaya raya, tetapi akhirnya bercerai. Raden Saleh tidak melukis potret-potret saja, tetapi juga melukis pemandangan dan berbagai jenis hewan. Ia pernah kembali ke Eropa di antara tahun 1875-1879. Sepulang dari Eropa ia tinggal di Bogor hingga akhirnya tutup usia di sana pada tanggal 23 April 1880, istri keduanya ialah Raden Ayu Danudirdjo.








Sabtu, 11 Desember 2010

Sindudarsono Sudjojono (1913-1985)


    Dia pionir yang mengembangkan seni lukis modern khas Indonesia. Pantas saja komunitas seniman, menjuluki pria bernama lengkap Sindudarsono Sudjojono yang akrab dipanggil Pak Djon iini dijuluki Bapak Seni Lukis Indonesia Baru. Dia salah seorang pendiri Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) di Jakarta tahun 1937 yang merupakan awal sejarah seni rupa modern di Indonesia.
Pelukis besar kelahiran Kisaran, Sumatra Utara, 14 Desember 1913, ini sangat menguasai teknik melukis dengan hasil lukisan yang berbobot. Dia guru bagi beberapa pelukis Indonesia. Selain itu, dia mempunyai pengetahuan luas tentang seni rupa. Dia kritikus seni rupa pertama di Indonesia.

Ia seorang nasionalis yang menunjukkan pribadinya melalui warna-warna dan pilihan subjek. Sebagai kritikus seni rupa, dia sering mengecam Basoeki Abdullah sebagai tidak nasionalistis, karena melukis perempuan cantik dan pemandangan alam. Sehingga Pak Djon dan Basuki dianggap sebagai musuh bebuyutan, bagai air dan api, sejak 1935.

Tapi beberapa bulan sebelum Pak Djon meninggal di Jakarta, 25 Maret 1985, pengusaha Ciputra mempertemukan Pak Djon dan Basuki bersama Affandi dalam pameran bersama di Pasar Seni Ancol, Jakarta. Sehingga Menteri P&K Fuad Hassan, ketika itu, menyebut pameran bersama ketiga raksasa seni lukis itu merupakan peristiwa sejarah yang penting.

Pak Djon lahir dari keluarga transmigran asal Pulau Jawa, buruh perkebunan di Kisaran, Sumatera Utara. Namun sejak usia empat tahun, ia menjadi anak asuh. Yudhokusumo, seorang guru HIS, tempat Djon kecil sekolah, melihat kecerdasan dan bakatnya dan mengangkatnya sebagai anak. Yudhokusumo, kemudianmembawanya ke Batavia tahun 1925.

Djon menamatkan HIS di Jakarta. Kemudian SMP di Bandung dan SMA Taman Siswa di Yogyakarta. Dia pun sempat kursus montir sebelum belajar melukis pada RM Pirngadie selama beberapa bulan dan pelukis Jepang Chioji Yazaki di Jakarta.

Bahkan sebenarnya pada awalnya di lebih mempersiapkan diri menjadi guru daripada pelukis. Dia sempat mengajar di Taman Siswa. Setelah lulus Taman Guru di Perguruan Taman Siswa Yogyakarta, ia ditugaskan Ki Hajar Dewantara untuk membuka sekolah baru di Rogojampi, Madiun tahun 1931.

Namun, Sudjojono yang berbakat melukis dan banyak membaca tentang seni lukis modern Eropa, itu akhirnya lebih memilih jalan hidup sebagai pelukis. Pada tahun 1937, dia pun ikut pameran bersama pelukis Eropa di Kunstkring Jakarya, Jakarta. Keikutsertaannya pada pameran itu, sebagai awal yang memopulerkan namanya sebagai pelukis.

Bersama sejumlah pelukis, ia mendirikan Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia), 1937. Sebuah serikat yang kemudian dianggap sebagai awal seni rupa modern Indonesia. Dia sempat menjadi sekretaris dan juru bicara Persagi.

Sudjojono, selain piawai melukis, juga banyak menulis dan berceramah tentang pengembangan seni lukis modern. Dia menganjurkan dan menyebarkan gagasan, pandangan dan sikap tentang lukisan, pelukis dan peranan seni dalam masyarakat dalam banyak tulisannya. Maka, komunitas pelukis pun memberinya predikat: Bapak Seni Lukis Indonesia Baru.

Lukisannya punya ciri khas kasar, goresan dan sapuan bagai dituang begitu saja ke kanvas. Objek lukisannya lebih menonjol pada pemandangan alam, sosok manusia, serta suasana. Pemilihan objek itu lebih didasari hubungan batin, cinta, dan simpati sehingga tampak bersahaja. Lukisannya yang monumental antara lain berjudul: Di Depan Kelambu Terbuka, Cap Go Meh, Pengungsi dan Seko.

Dalam komunitas seni-budaya, kemudian Djon masuk Lekra, lalu masuk PKI. Dia sempat terpilih mewakili partai itu di parlemen. Namun pada 1957, ia membelot. Salah satu alasannya, bahwa buat dia eksistensi Tuhan itu positif, sedangkan PKI belum bisa memberikan jawaban positif atas hal itu. Di samping ada alasan lain yang tidak diungkapkannya yang juga diduga menjadi penyebab Djon menceraikan istri pertamanya, Mia Bustam. Lalu dia menikah lagi dengan penyanyi seriosa, Rose Pandanwangi. Nama isterinya ini lalu diabadikannya dalam nama Sanggar Pandanwangi. Dari pernikahannya dia dianugerahi 14 anak.

Di tengah kesibukannya, dia rajin berolah raga. Bahkan pada masa mudanya, Djon tergabung dalam kesebelasan Indonesia Muda, sebagai kiri luar, bersama Maladi (bekas menteri penerangan dan olah raga) sebagai kiper dan Pelukis Rusli kanan luar.

Itulah Djon yang sejak 1958 hidup sepenuhnya dari lukisan. Dia juga tidak sungkan menerima pesanan, sebagai suatu cara profesional dan halal untuk mendapat uang. Pesanan itu, juga sekaligus merupakan kesempatan latihan membuat bentuk, warna dan komposisi.

Ada beberapa karya pesanan yang dibanggakannya. Di antaranya, pesanan pesanan Gubernur DKI, yang melukiskan adegan pertempuran Sultan Agung melawan Jan Pieterszoon Coen, 1973. Lukisan ini berukuran 300310 meter, ini dipajang di Museum DKI Fatahillah.

Secara profesional, penerima Anugerah Seni tahun 1970, ini sangat menikmati kepopulerannya sebagai seorang pelukis ternama. Karya-karyanya diminati banyak orang dengan harga yang sangat tinggi di biro-biro lelang luar negeri. Bahkan setelah dia meninggal pada tanggal 25 Maret 1985 di Jakarta, karya-karyanya masih dipamerkan di beberapa tempat, antara lain di: Festival of Indonesia (USA, 1990-1992); Gate Foundation (Amsterdam, Holland, 1993); Singapore Art Museum (1994); Center for Strategic and International Studies (Jakarta, Indonesia, 1996); ASEAN Masterworks (Selangor, Kuala Lumpur, Malaysia, 1997-1998).







Selasa, 05 Oktober 2010

안녕..

Before I knew it, another day passes and
My footsteps go towards home
With a mind that first started with a bulky heart
Sometimes inside the tired everyday
My breathing freedom drags my tired body and
Follows that road